Minggu, 25 Maret 2012

Cinta Dalam Hati (Part 2)

Sebuah rumah sederhana yang memancarkan kehangatan bagi penghuninya tampak indah dan asri dengan beberapa pohon rindang yang seakan melindungi dari teriknya panas matahari yang menyengat siang itu. Sebuah mobil jeep warna merah berhenti di depan rumah itu. Tampak seorang laki-laki tampan dan tinggi keluar dari dalam mobil. Ia berjalan mengelilingi mobil menuju pintu penumpang. Setelah itu keluarlah seorang wanita cantik dengan perawakan kecil tapi memiliki bentuk tubuh yang proposional dengan salah satu kakinya terbalut perban. Ternyata itu adalah Dev dan Lusi. Terlihat Dev menggandeng tangan Lusi berjalan menuju ke rumahnya. Tak berapa lama terdengar ketukan pintu dari luar rumah.
“Assalamu’alaikum. Ibu…Ayah…Gita…” ucap Lusi pelan.
“Wa’alaikumsalam.” Sahut suara dari dalam rumah. Tak lama pintu rumah terbuka keluarlah sosok perempuan yang masih cantik walau dalam usia yang sudah tidak muda lagi.
“Lulu. Kemana saja? Ibu khwatir sama kamu dari tadi pagi belum pulang-pulang.” Cecar ibu Lusi dengan banyak pertanyaan.
“Ibu, Lulu masuk dulu kaki Lulu masih sakit.” Ucap Lusi enggan menjawab pertanyaan ibunya.
“Iya.” Ucap ibu Lusi sambil membuka jalan untuk Lusi masuk ke dalam rumah. Dengan masih di tuntun Dev untuk berjalan melewati ibunya dan duduk di sofa yang empuk.
“Uhhh. Capek juga.” Ucap Lusi kemudian sambil menselonjorkan kakinya yang dibalut perban ke salah anak kursi di depannya sambil menghela napas.
“Lulu. Ini siapa?” tanya ibu Lusi kemudian duduk dihadapan anaknya.
“Iya Lulu lupa. Ibu ini Dev dan Dev ini ibu saya.” Ucap Lusi memperkenalkan ibunya pada Dev.
“Dev.”
“Ibu Hartoyo.”
“Kenapa kakimu? Ada apa?” Tanya Bu Hartoyo pada Lusi.
“Maaf ibu sebelumnya.” Potong Dev sebelum Lusi menjawab pertanyaan ibunya.
“Tadi pagi. Saya tidak sengaja menabrak anak ibu di jalan. Waktu itu saya agak terburu-buru. Jadi saya tidak melihat anak ibu menyeberang jalan. Maafkan saya, bu.” Ucap Dev memberi penjelasan ke pada Bu Hartoyo.
“Terus gimana kakimu, Lu?” Tanya Bu Hartoyo pada Lusi.
“Masih ngilu buat jalan sama perih.” Jawab Lusi singkat. “Tapi sudah agak lumayan berkurang rasa ngilunya dibandingkan tadi.” Lanjut Lusi kemudian.
“Ya. sudah mau gimana lagi. Yang penting Lulu pulang dengan selamat. Sudah minum obat?” tanya Bu Hartoyo lagi.
“Belum, bu.” Jawab Lusi berbarengan dengan Dev.
“Belum.” Ucap Bu Hartoyo terkejut. “Kalau begitu makan siang dulu habis itu minum obatnya terus istirahat.” Ucap Bu Hartoyo kemudian.
“Bapak mana, bu?” tanya Lusi pada ibunya.
“Bapak sama Gita lagi keluar beli buku.” Jawab Bu Hartoyo singkat. “Ya, sudah ayo makan dulu. Sekalian mas Dev diajak makan. Maaf cuma seadanya, mas Dev” Ucap Bu Hartoyo sambil tersenyum.
“Iya. Ayo Dev.” Ajak Lusi sambil meminta menuntunnya menuju meja makan.
“Iya. Gak apa-apa, bu. Tapi maaf saya merepotkan ibu sekeluarga. Sudah bikin susah anak ibu.” Sesal Dev atas kejadian yang menimpa Lusi.
“Sudah. Gak apa-apa. Jangan dibahas lagi. Ibu sekeluarga mengerti. Nak Dev juga gak sengaja nabrak anak ibu. Silahkan mencicipi masakan ibu yang seadanya.” Jawab Bu Hartoyo lembut. Dev mengangguk mengiyakan ucapan Bu Hartoyo. Dev menjadi teringat akan sosok mamanya yang telah meninggal lima tahun yang lalu dalam kecelakaan mobil. Begitu lembut dan penuh kasih. Dev seakan menemukan kehangatan keluarga walau baru mengenal salah satu anggota keluarga Lusi.
Setelah selesai makan, Dev memberikan obat kepada Lusi supaya segera ia meminumnya. Lusi pun meminum obatnya dari luar terdengar suara anak kecil yang ceria seperti mendapatkan mainan baru. Ia menerobos masuk ke dalam rumah dengan berlari kecil saat ia mencapai ruang makan. Ia terperanjat dengan sosok asing yang sedang duduk di meja makan rumahnya yang pada saat bersamaan sedang makan bersama kakak perempuannya. Ia berhenti dan mengamati dari jarak dekat penuh selidik. Lusi tersenyum melihat tingkah adik perempuannya yang imut dan lucu.
“Ade….sini dekat, mba Lulu.” Panggil Lusi pada anak kecil itu. Akhirnya ia mendekat ke Lusi sambil membawa sebuah buku di tangannya yang kecil. Dev tersenyum manis pada adik Lusi. Adik Lusi cantik dan imut, rambutnya ikal sebahu tergerai serta berkulit putih. Seperti kakaknya bathin Dev.
“Dev. Ini adikku Gita. Ade Gita ini mas Dev teman mba Lulu.” Ucap Lusi memperkenalkan adik perempuannya pada Dev.
“Hallo….Dev.” ucap Dev seraya mengulurkan tangannya. Tapi Gita hanya diam mengamati Dev tak beberapa lama ia menjabat tangan Dev dengan jemarinya yang kecil. Walau dengan sedikit malu-malu. “Gita.” Balasnya singkat.
Dev tertawa melihat tingkah Gita. Dari dulu dia ingin punya adik perempuan karena Dev terlahir sebagai anak tunggal. Terkadang ia merasa kesepian saat berada dalam rumah mewahnya yang besar.
“Ade….habis darimana?” tanya Lusi memecah kekakuan diantara Dev dan Gita. Kepala Gita kembali menoleh ke kakaknya. “Beli buku.” Ucapnya sambil memamerkan buku yang baru dia beli dari toko buku dengan ceria.
“Oooohhhh….”
“Ade sudah makan belum?” tanya Lusi lagi
“Sudah tadi sama ayah dan ibu.” Jawabnya. “Mba Lulu darimana? Dari tadi ditunggu gak pulang-pulang juga.” Lanjut Gita lagi.
“Iya. Mba Lulu jatuh. Ini lihat kaki mba Lulu pakai perban.” Jawab Lusi sambil memperlihatkan kakinya yang luka pada adiknya.
“Kenapa bisa jatuh, mba?” tanyanya lagi. Lusi agak kelabakan menjawab pertanyaan adiknya yang begitu detail.
“Karena mba Lulu gak lihat ada lubang waktu jalan.” Jawab Dev. Gita menoleh ke arah Dev dan terperangah ketika mendengar jawaban Dev barusan dan kemudian kepalanya mengangguk-angguk tanda menyetujui rambut ikalnya ikut bergoyang mengikuti arah kepalanya. Dev tertawa melihat tingkah polah adik Lusi.
“Gita mencari ibu dulu ya, mba Lulu dan mas Dev.” Ucapnya lagi seraya meninggalkan Lusi dan Dev yang masih duduk di meja makan.
“Iya…..ade.” jawab mereka berdua bersamaan dengan senyum yang tak mau lepas dari bibir mereka berdua.
“Adik kamu lucu, Lusi.” Ucap Dev sepeninggalan Gita.
“Iya. Gita memang serba ingin tahu. Makasih ya membantu aku menjawab pertanyaan Gita tadi.” Ucap Lusi lagi. “Iya. Sama-sama.” Jawab Dev singkat.
“Ok. Lusi. Saatnya aku pamit pulang karena waktunya kamu istirahat.” Ucap Dev.
“Iya. Ayo...kuantar sampai depan.” Jawab Lusi lagi. Dev berdiri dari duduknya membantu Lusi berdiri dari tempat duduknya kembali berjalan ke arah ruang tamu tetapi belum sampai mereka ke ruang tamu tampak sepintas terlihat seorang laki-laki dengan perawakan agak tinggi dibandingkan anggota keluarga yang lain berdiri membelakangi mereka. Seketika ia membalikkan badannya saat melihat bayangan Dev dan Lusi melintasi ruang keluarga.
“Ayah.” Ucap Lusi kemudian mengagetkan Dev. Laki-laki itu tersenyum pada Lusi dan menatap dengan serius kepada Dev. Laki-laki itu mendekati Dev dan Lusi seraya memeluk anak perempuannya.
“Kemana saja? Ayah khawatir sama kamu jam segini baru pulang.” Ucap ayah Lusi. Lusi memeluk ayahnya dengan erat seakan baru saja bertemu.
“Maafkan Lulu, ayah.” Balas Lusi masih dalam pelukan ayahnya.
“Gimana kakimu? Ibu sudah cerita apa yang terjadi ke ayah.” Tanya ayah Lusi penuh perhatian pada Lusi.
“Masih ngilu sedikit, ayah. Tapi sudah lumayan berkurang dibandingkan tadi.” Jawab Lusi antusias. Ayah Lusi memandang Dev dengan cermat. Seakan Dev makhluk asing yang baru datang dari dunia lain dan memasuki dunia mereka. Lusi melepas pelukannya dan menoleh ke samping memandang Dev yang terlihat salah tingkah dan berdiri mematung.
“Ayah perkenalkan ini Dev dan Dev ini ayahku.” Ucap Lusi memperkenalkan kepala rumah itu kepada Dev.
“Dev.”
“Pak Hartoyo.”
“Pak Hartoyo. Saya pamit pulang, besok saya kemari lagi melihat keadaan Lusi.” Ucap Dev meminta ijin untuk pulang. “Supaya Lusi bisa istirahat.” Lanjutnya lagi.
‘Iya. Silahkan nak Dev.” Balas Pak Hartoyo.
“Makasih pak. Lusi aku pulang dulu. Salam buat ibu saya pamit pulang.” Ucap Dev pada Lusi yang dibalas dengan anggukan kepala Lusi tanda mengiyakan.
“Assalamu’alaikum.” Ucap Dev pada Pak Hartoyo dan Lusi.
“Wa’alaikumsalam.” Jawab Lusi dan ayahnya berbarengan.

To be continued......

Senin, 27 Juni 2011

Cinta Dalam Hati

“Ya ampun, sudah jam berapa ini?”
“Bangun…bangun..bukankah kau ada acara peluncuran buku terbarumu, Dev”. Seru wanita setengah baya dan keibuan.
“Iya, aku masih mengantuk. Sebentar lagi.” ucap suara dibalik selimut yang menutupi seluruh badannya dengan nada malas.
“Ayo, bangun..” balas wanita itu dengan menarik selimut dan menarik tangan pria itu dengan sedikit memaksa.
“Iya, aku bangun.” ucap pria itu bersungut-sungut sambil merengangkan tubuhnya dan duduk di atas tempat tidurnya.
“Jam berapa sekarang?” Ia bersandar kembali, mengembalikan posisi badan malas-malasannya.
Wanita setengah baya itu melirik jam tangannya penuh suka cita. “Sepuluh tiga puluh.”
“Ah.” Dev menguap lagi dan menyusupkan sebelah tangannya di antara rambut hitam yang tebal. “Sudah siang. Waduh terlambat aku satu jam kurang, acaranya sudah mulai.” Secepat kilat Dev lari ke kamar mandi. Meninggal tempat tidur yang berantakan oleh tubuh besarnya.

Brukkkk…
“Aw..aw…” jerit wanita yang terduduk di depan mobil Dev kesakitan sambil memegang kakinya. Dev keluar mobil untuk melihat kondisi wanita itu. Barang belajaannya berhamburan di tengah jalan.
“Maaf..maaf…saya tidak melihat anda menyeberang jalan. Saya terburu-buru.” ucap Dev diplomatis. Sambil mengumpulkan barang-barang belanja yang berserakan ke dalam plastik yang sedikit sobek akibat bergesekan dengan mobilnya.
“Lagian, menyeberang jalan enggak menoleh kiri dan kanan.” Sungut Dev lagi.
“Enak aja, kalau ngomong. Emang ini jalan nenek moyang kamu apa.” Timpal wanita itu.
“Ya, ampun kakimu berdarah. Ayo kuantar ke rumah sakit.” ucap Dev lagi seraya berusaha meraih tangan wanita itu untuk bangkit.
“Tidak perlu. Aku bisa berdiri sendiri.” Ucap wanita itu sengit seraya menepis tangan Dev dari wajahnya. Berusaha berdiri walau tidak sempurna dengan kaki yang luka agak sedikit ditekuk sambil meringis kesakitan.
“Sebaiknya, kamu kuantar ke rumah sakit. Supaya cepat ditangani kakimu yang luka. Kalau dibiarkan lama-lama bisa infeksi.” Ucap Dev merasa sedikit bersalah dengan ucapannya barusan dan berusaha membujuk wanita itu untuk mau di antar ke rumah sakit.
Darah tetap mengalir dari kakinya yang luka. Melihat itu Dev tanpa pikir panjang langsung meraih tangan wanita itu dan menuntunnya ke arah pintu mobil dan membukanya. Walau wanita itu sedikit berontak berusaha melepas tangan Dev dari tangannya. Tapi tetap tak bisa mengalahkan kekuatan cengkeraman tangan Dev dari tangannya. Dev membuka mobilnya dan sedikit mendorong paksa wanita itu untuk masuk ke dalam mobilnya dan menutupnya. Selanjutnya ia balik memutar ke arah pintu mobil satunya.

“Sudah. Selesai.” Ucap dokter Irfan sambil tersenyum lembut.
“Gimana keadaan kakinya, dok? Apa baik-baik saja, atau ada yang perlu ditangani lebih lanjut.”cecar Dev dengan banyak pertanyaan. Dokter Irfan tersenyum pada Dev, karena ia tahu watak Dev yang paranoid kalau melihat darah atau luka. Dokter Irfan adalah dokter keluarga Dev dan sekaligus sahabat karib ayah Dev. Tapi sejak kecelakaan yang menimpa orang tua Dev, ia menjadi pengganti sosok ayah bagi Dev.
“Tidak apa-apa. Kamu tenang saja. Ini hanya luka kecil, tidak perlu penanganan serius. Lagipula dalam semingggu ini lukanya akan sembuh.”ucap dokter Irfan sambil menepuk-nepuk bahu Dev berusaha menenangkan Dev yang panik. Karena Dev masih trauma dengan kecelakaan yang menimpa orang tuanya. Akibat penanganan yang terlambat berujung kematian.
“Syukurlah kalau begitu.” Ucap Dev lega seraya menghembuskan napas panjang yang terasa memenuhi rongga dadanya.
“Ok. Kalau begitu saya pamit dulu mau menemui pasienku yang lain. Dev dan………”. Ucap dokter Irfan sambil menjabat tangan Dev. Kemudian wanita itu yang disambutnya dengan ramah. “Lusi, dok.” Ucap Lusi seraya menjabat tangan dokter Irfan.
“Lusi. Saya permisi dulu.” Ucap dokter Irfan. Selanjutnya menyerahkan resep obat pada Dev.
“Baiklah. Saya permisi dulu. Dev dan Lusi.” Ucap dokter Irfan seraya bergegas keluar ruangan perawatan.
Suasana hening seketika sepeninggalan dokter Irfan. Dev dan Lusi saling pandang satu sama lain. Dev akhirnya memulai pembicaraan untuk mencairkan suasana.
“Maafkan aku sehingga kakimu jadi seperti ini.” Sesal Dev.
“Tidak apa-apa. Dengan kamu sudah mengantarku ke rumah sakit dan menemaniku selama ini. Menunjukkan kamu bertanggung jawab.” Jawab Lusi.
“Gimana rasa kakimu? Masih sakit.” Ucap Dev lembut.
“Enggak. Sudah baikan. Cuma agak perih sedikit.” Balas Lusi pelan.

Suasana kembali hening.
“Kita belum sempat berkenalan secara formal. Namaku Delvin tapi aku lebih suka dipanggil Dev.” Ucap Dev seraya menjulurkan tangannya.
“Lusi.” Balas Lusi seraya menjabat tangan Dev.
“Baiklah. Sekarang kita sudah berteman. Apa kakimu kuat buat jalan karena aku mau menyelesaikan administrasimu dulu.” Ucap Dev seraya menunggu jawaban dari Lusi.
“Iya. Aku masih mampu jalan mengelilingi rumah sakit ini.” Seloroh Lusi.
“Ya. Ampun aku lupa ada acara hari ini di Galaxy Plaza. Gimana ini?” ucap Dev sambil menepuk dahinya.
“Ya. Sudah kalau kamu ada acara penting. Biar aku yang mengurus administrasiku.” Ucap Lusi.
“Mana boleh begitu. Aku yang bikin kamu seperti ini, maka aku harus menyelesaikannya.” Balas Dev kesal.
“Tapi. Acara kamu gimana?” tanya Lusi lagi.
“Gampang. Nanti aku pikirkan lagi.” Jawab Dev singkat.
“Ayo, kubantu kamu turun.” Lanjut Dev kemudian sambil memberikan tangannya buat pegangan Lusi turun dari tempat tidur yang diraih Lusi. Sambil tertatih Lusi berjalan berdampingan dengan Dev menuju bagian administrasi dan menebus resep obat yang diberikan dokter Irfan. Setelah selesai semua urusan Dev dan Lusi menuju tempat parkir mobil. Lusi sudah duduk di dalam mobil bagian penumpang dan Dev menyusul duduk di belakang kemudi mobil. Tak beberapa lama ponsel Dev berdering. Ia di telepon oleh managernya yang memberitahu kalau sebentar lagi peluncuran buku terbaru Dev “Cinta Tak Harus Memiliki”. Dev mengatakan ia baru menabrak orang dan sekarang masih di rumah sakit. Manager Dev menegaskan kalau ia harus sudah sampai di Galaxi Plaza dalam sepuluh menit. Dev menutup ponselnya dengan sedikit menggerutu.
“Ada apa? Apa semua baik-baik saja.” Tanya Lusi penuh selidik. Dev menghirup udara sangat panjang dan menghembuskannya dengan berat.
“Buruk. Sangat buruk. Aku harus sudah sampai di sana dalam waktu sepuluh menit dari sekarang.” Jawab Dev singkat.
“Ya, sudah aku naik taksi saja pulang ke rumah.” Ucap Lusi kemudian.
“Mana mungkin. Untuk jalan saja kamu perlu bantuanku untuk menuntunmu. Aku takut kakimu berdarah lagi.” Jawab Dev lagi.
“Apa sebaiknya kamu ikut aku ke acara itu. Setelah itu kamu kuantar pulang.” Usul Dev pada Lusi.
“Tapi, Dev apa itu tidak merepotkanmu nantinya.” Tanya Lusi.
“Tidak apa-apa. Acaranya cuma dua jam.” Jawab Dev.
“Kamu maukan Lusi. Aku berharap kamu mau.” Ucap Dev dengan wajah penuh harap.
“Baiklah. Aku mau.” Jawab Lusi seraya mengiyakan permohonan Dev.
“Terima kasih…terima kasih sekali pengertiannya. Aku menghargai itu.” Ucap Dev dengan senyum yang mengembang di bibirnya.
Tak beberapa lama Dev dan Lusi tiba di tempat peluncuran buku terbaru Dev yang berjudul “Cinta Tak Harus Memiliki”. Semua pasang mata terpaku pada kedatangan Dev yang datang tidak sendirian tapi dengan seorang wanita cantik sederhana tapi elegan. Dev keluar seraya menggandengan tangan Lusi untuk memudahkan ia berjalan ke tempat yang sudah disediakan. Dev duduk dan menebarkan senyumnya yang merekah pada semua orang yang ada di ball room Galaxy Plaza. Dev memang salah satu penulis muda yang sangat berbakat. Buku terbaru saja baru diluncurkan permintaan untuk pemesanan sudah gila-gilaan. Hampir semua bukunya best seller. Tidak heran karya Dev jadi incaran perusahaan besar penerbitan. Selain itu, karena sosok Dev yang tampan dan ramah pada semua fansnya membuat dia makin di kagumi semua kalangan baik dari anak remaja sampai ibu rumah tangga. Tak terasa dua jam berlalu. Dev menoleh ke managernya serta membisikkan sesuatu. Terlihat sang manager mengangguk-anggukan kepalanya tanda menyetujui. Dev bergegas berdiri dan berjalan menuju ke tempat duduk Lusi. Dev mengulurkan tangannya disambut Lusi yang berusaha bangkit dari tempat duduknya. Walaupun masih dengan wajah agak meringis menahan sakit ia meraih tangan Dev dan berdiri. Kejadian yang berlangsung singkat tapi jadi pusat perhatian semua orang yang hadir tidak luput dari perhatian awak media yang meliput acara tersebut. Blitz kamera dan sorotan kamera TV seakan tak mau ketinggalan mengabadikan momen tersebut yang sangat jarang terjadi. Karena kehidupan pribadi Dev seakan tertutupi dengan kesuksesan karya-karyanya. Semua itu tidak jadi masalah bagi penggemarnya, tapi hari ini semua mata seakan menemukan kehidupan Dev yang lain yaitu kehidupan percintaannya. Dev dan Lusi bergandengan tangan meninggalkan tempat itu, langsung menuju mobil yang telah berada di depan pintu masuk Galaxy Plaza dan meluncur meninggalkan beberapa pertanyaan yang belum terjawab.

To be continued.....

Selasa, 03 Mei 2011

8 September

Ada apa dengan 8 september...
Karena tanggal itu hari kelahiranku...
Hari dimana semua orang bersuka cita menyambutnya...
Hari dimana semua melakukan permohonan yang lebih baik untuk masa akan datang...
Hari dimana semua anggota keluarga berkumpulkan memanjatkan do'a kepada Tuhan Yang Maha Esa...
Tapi bagiku itu hari yang suram dan menyedihkan...
Saat teman-temanku mengucapkan selamat panjang umur tapi saat bersamaan aku menangisi kepergian ayahku untuk selamanya...
hari dimana akan selalu kuingat dan kukenang seumur hidupku...
Kemana pun kakiku melangkah, aku akan selalu ingat akan ayahku...
karena beliau sosok ayah yang paling kukagumi dan kuhormati...

Mengejar Cinta Tira_MissU sampai Ke Pulau Dewata

Tak pernah terlintas di benak Nola menemukan cinta sejatinya lewat jejaring sosial. Nola senyum sendiri jika mengingat awal perkenalannya dengan pujaan hatinya. Kejadian berawal dari kesukaannya pada seorang artis sinetron yang sedang naik daun saat itu, yang bernama Dewiyanti. Saking tergila-gila sama artis sinetron itu Nola rela kurang tidur demi bisa online bersama Dewiyanti. Kalo sudah dibalas senangnya bukan main hatinya. Seiring waktu dia berkenalan dengan akun Tira_MissU yang rupanya juga ngefans berat dengan Dewiyanti. Tira_MissU selalu menyapa Dewiyanti dengan gaya bercanda yang segar bagi yang membacanya jadi tertawa, karena penulisannya beda dengan lain. Akhirnya karena sering online bersama buat menyapa Dewiyanti. Nola berkenalan dengan Tira_MissU yang dibalas Tira_MissU dengan ramah dan bersahabat.
Awal perkenalan masih membahas soal Dewiyanti, dia seperti apa? sukanya kenapa? punya koleksi fotonya gak? Pertemanan Nola dan Tira_MissU tak terasa berlangsung selama empat bulan. Selama itu pula baik Nola maupun Tira_MissU tak pernah lupa saling menyapa selamat pagi, selamat siang, selamat malam sampai selamat makan tidak lupa tuk diucapkan. Bahkan kalau malam menjelang Nola seakan tidak pernah lupa sosok Tira_MissU yang baik, ramah dan lucu. Nola seakan menemukan teman yang luar biasa sabar menemenaninya selama online walaupun sebenarnya Nola tahu kalau Tira_MissU sudah lelah dan mengantuk. Tapi tak pernah sedikit pun Tira_MissU mengeluh.
Sampai pada suatu hari Nola online dan tidak menemukan akun Tira_MissU dilayar jejaring sosialnya. Awalnya Nola pikir mungkin Tira_MissU lagi sibuk karena selama ini selalu menemaninya online, jadi mungkin sekarang dia ingin mengerjakan kegiatannya yang tertunda. Satu hari berlalu, dua hari berlalu sampai satu bulan berlalu Nola tidak menemukan sosok Tira_MissU hadir di layar jejaring sosialnya. Selama online bersama Tira_MissU, Nola pernah bertanya asal Tira_MissU darimana? Terus dijawab Tira_MissU dari pulau Dewata, Bali. Sudah dua bulan Tira_MissU tiada kabar dan berita membuat Nola menjadi tidak bersemangat untuk beraktifitas, dia merasa ada yang kurang didirinya tanpa kehadiran Tira_MissU. Teman-teman kuliahnya juga bingung selama ini Nola selalu ceria dan bersemangat di kampus tapi sekarang lebih pemurung dan pendiam. Sampai akhirnya ide konyol Tiara mengatakan “kenapa gak ke Bali aja, cari tau keberadaan Tira_MissU”. Kupikir ide itu konyol dan tidak mungkin tapi kalau aku menunggu sampai kapan tahu keberadaan Tira_MissU, setidaknya kalau bertemu aku tahu keadaannya baik-baik saja.
Dilihatnya jam tangannya menunjukkan pukul 08.00 berarti sejam lagi pesawat take off. Nola duduk terpaku di tempat duduknya, dia gelisah memikirkan pertemuannya dengan Tira_MissU yang selama ini hanya bertemu di jejaring sosial. Ia mengira pertemuan tatap muka mereka yang pertama setelah enam bulan ini akan berjalan canggung dan janggal. Ia mengira dirinya akan gugup dan kehabisan kata-kata saat bertemu Tira_MissU. Tak terasa pilot pesawat mengatakan lima menit lagi pesawat akan landing di bandara Ngurah Rai kepada semua penumpang diminta mengenakan sabuk pengaman. Saat pertama kali melihat Bali hati Nola terperangah dengan keindahan pulau Dewata. Budaya Hindu begitu kental di sana. Masyarakatnya juga ramah menyambut para wisatawan yang berkunjung ke Bali. Setelah mengambil barang, Nola keluar mencari taksi untuk mengantarnya ke hotel buat mandi dan beristirahat, supaya besok badan segar dan siap mencari keberadaan Tira_MissU ucapnya penuh semangat.
Sebuah BMW anggun meluncur memasuki tempat parkir dan berhenti di depan restoran tempatnya makan siang. Pintu mobil terbuka, kepala dan bahu muncul di atas atap mobil. Seorang pria dengan bahu lebar dan rambut hitam lebat. Setelah melihat pria itu Nola harus mengakui kalau pria itu tampan. Nola menarik napas panjang dan mengatakan pada dirinya sendiri kalau keberadaannya di Bali buat mencari Tira_MissU bukan untuk berkencan dengan pria lain. Nola kembali menikmati makan siangnya dan secangkir teh sambil memikirkan pertemuannya dengan Tira_MissU. Tetapi jantungnya serasa berhenti berdetak, saat pria itu menghampirinya.
“Nola….Nola kan”
Nola menoleh kearah suara dan mendapati pria itu sedang memandangnya dengan tersenyum. “Ya, benar,” jawab Nola spontan sambil berdiri dari kursi.
“Bagaimana kabarmu? Kenapa ke Bali gak bilang-bilang,” tanya pria itu.
Nola mengabaikan pertanyaan itu karena memusatkan perhatian pada pria itu. “kamu..kamu.. Tira….Missssssss…U..bukkkk…..kan,” jawab Nola terbata-bata. Dibalas dengan anggukan kepala tanda menyetujui pertanyaan Nola.
Nola memejamkan mata. Ia merasa kehabisan tenaga sementara dunia serasa berputar tak terkendali. Suara Tira mendengung di telinganya. “Nola, kamu tidak apa-apa. Nola jawab aku.” Ada tangan melingkari pinggangnya, memeluknya hingga amat dekat dengan dinding kehangatan dan kekuatan, menjaganya sementara ia diletakkan di kursi terdekat. “Sandarkan kepalamu, Nola.”
“Mbok, kenapa…kenapa, mbok?” tanya orang-orang yang kebetulan makan siang di restoran itu. Sambil mengerubungi meja Nola.
“Pusing, sedikit, kurasa. Bukan sakit berat,” jawab Tira. Sambil matanya tak lepas dari Nola.
“Bli, bisa kaubuatkan teh hangat untuknya?” ucap Tira meminta tolong pada salah satu pelayan restoran.
“Tentu,” jawab pelayan restoran seraya pergi ke belakang menuju dapur.
Nola mengangkat kepala, pandangannya sudah cukup jelas hingga bisa melihat Tira dan orang-orang yang mengerumuninya.
“Tarik napas dalam-dalam beberapa kali, Nola,” Tira menyarankan dengan lembut. Tak lama berselang Tira berdiri diantara kerumunan orang. “Kurasa teman saya sudah tidak apa-apa. Bapak-bapak dan ibu-ibu terima kasih atas perhatiannya terhadap teman saya. Silahkan melanjutkan makan siangnya, maaf mengganggu kalian semua. Terima kasih,” ucap Tira kepada orang-orang yang mengerumuni mereka berdua.
“Iya, sama-sama bli,” ucap mereka bersamaan. Sembari mulai meninggalkan meja Nola kembali ke meja mereka masing-masing. Keadaan kembali normal seperti sedia kala.
Aman? Nola merasakan gelombang histeria mulai melandanya dan ia cepat - cepat menahannya. Pikirannya penuh dengan kesadaran bahwa akhirnya ia menemukan Tira_MissU yang selama ini dicarinya.
Lalu Tira kembali berlutut di depannya, meraih tangannya, menggosok-gosoknya.
“Aku tidak apa-apa,” kata Nola serak.
“Aku minta maaf telah membuatmu kaget, Nola. Tak ada cara lain untuk menyapamu selain dengan menghampirimu seperti ini.” ucap Tira lembut.
“Kemana aja kamu selama ini? Kenapa gak pernah kasih kabar sama sekali kepadaku? Kupikir kamu kenapa-kenapa?” ucap Nola secara diplomatis sambil menatap Tira, matanya penuh dengan perasaan tersiksa.
Tira menatapnya sambil tersenyum. “Beri aku kesempatan untuk menjelaskan semua ini. Aku minta maaf tidak memberitahu kamu karena aku pergi juga mendadak karena ayahku jatuh sakit. Sehingga aku harus segera pulang ke Bali. Selain itu, aku juga menggantikan ayahku sementara mengelola resort keluarga sampai ayahku kembali sehat,” ucap Tira dengan lirih.
“Tapi kenapa kamu tidak bilang?” tanya Nola pelan.
Tatapan Tira tidak berubah. “Kalau aku bilang pasti kamu sedih sekali. Karena aku tidak tahu pergi sampai kapan.”
Mungkin ia merasa bersalah sekarang. Nola bisa menerima jika Tira merasa begitu. “Iya, aku mengerti,” jawab Nola.
“Ya, memang,” Tira menyetujui. Ditariknya tangannya dan bangkit kembali. “Dan kau ingin bukti.” Ia tiba-tiba menyeringai, seluruh wajahnya jadi cerah oleh gambaran yang menyenangkan. “Kau akan mendapatkan banyak bukti, Nola.”
Nola memandangnya, teringat betapa menariknya sosok Tira_MissU dan betapa ia sangat merindukan sosok itu saat kebersamaan mereka di jejaring sosial. Tapi ia tak mau mengakui perasaannya pada Tira. Sampai Tira sendiri yang mengatakan perasaan cintanya pada Nola. Kali ini ia akan menuruti akalnya, bukan hatinya. Tira belum mengatakan apa bukti yang mau dia tunjukan kepadanya. Sebelum ia sempat menanyakan masalah itu, pelayan restoran masuk, dengan membawa secangkir teh hangat dan kue. Tak mungkin melanjutkan perbincangan mereka di hadapan pelayan itu.
“Silahkan dinikmati, mbok dan bli,” ucap pelayan restoran ramah.
“Ya, terima kasih, bli.”
Tira duduk di kursi dihadapan Nola dan menatapnya, menunggunya memakan dan meminum apa yang dibawakan pelayan restoran tadi. Nola mencelupkan kue ke teh hangat dan cepat-cepat memasukkanya ke mulut untuk memuaskan penonton. Dihabiskannya kue di depannya dan dihirupnya teh hangat yang sisa separo sampai habis.
“Apakah kau sudah baikan?” tanya Tira penuh harap.
“Iya,” jawab Nola.
“Ayo, kau ikut aku,” ucap Tira.
“Kemana?” tanya Nola.
“Mengambil barang-barangmu, kau bisa tinggal di resort keluargaku,” jawab Tira penuh semangat. Tanpa meminta persetujuan Nola, ia langsung memanggil pelayan meminta bill dan membayar semuanya. Mereka keluar dari restoran dan menuju parkir mobil tempat Tira memarkir mobilnya. Tira membuka pintu mobil dan mempersilahkan Nola masuk kedalamnya.
“Kau membuatku serba salah saja,” seru Nola kesal.
“Nola.” Lengan Tira memeluknya dan matanya berkilau oleh perasaan sayang. “Aku menginginkan akhir yang bahagia. Satu-satunya yang bisa menghalanginya adalah kau. Aku cuma minta kamu memberiku kesempatan.”
“Kau menipu diri sendiri.”
“Kita lihat saja nanti.”
“Hidup tidaklah seperti dongeng. Hidup…”
Kepala Tira menunduk ke arahnya. Ada kilatan penuh makna di matanya, kilatan penuh gelora, kilatan memukau. Nola jadi lupa pada apa yang akan dikatakannya. Ia membelai pipi Nola dengan ujung jemarinya. Matanya memancarkan kelembutan yang meluluhkan hati Nola. “Permulaan yang baru, Nola.” ia bergumam.
Tidak, tidak mungkin, perintah pikiran Nola. “Kita baru bertemu, bagaimana kamu bisa yakin akan didiriku, kalau aku juga…..” belum habis Nola berkata telunjuk Tira menutup bibir Nola.
“Tidak ada yang tidak mungkin".
Tira berlutut dihadapan Nola. "Apakah, kau mau menikah denganku, Nola?" ucap Tira penuh keyakinan.
Nola terkejut dengan perkataan Tira barusan.Jantung Nola berdetak kencang.
"Apa maksudmu?"
"Tapi kita baru bertemu Tira..dan..dan..kita belum mengenal lebih mendalam."
Tira tersenyum mendengarkan pengajuan Nola. Tidak ada nada penolakan cuma pertimbangan.
"Aku sudah lama memikirkan ini, sejak meninggalkan Jakarta. kupikir ini saat yang tepat aku mengucapkannya. Aku mencintaimu Nola melebihi apa yang kau rasakan saat ini. Aku tidak bisa hidup tanpamu. Aku ingin menghabiskan waktu dan seluruh hidupku bersamamu. Maukah kau menikah denganku?"
tegas Tira. Nola diam sesaat, selama ini ia mengakui memang menyukai Tira. bahkan, hari-harinya sepi tanpa Tira. hanya seorang Tira_MissU yang bisa mewarnai hari-harinya.
"Aku bersedia menikah denganmu, Tira." ucap Nola mantap.
"Apakah, aku tidak salah dengarkan. Kau mau menikah denganku." ucap Tira menyakinkan dirinya.
Nola tersenyum dan mengangguk tanda mengiyakan. Tira bangkit dan memeluk Nola.
"Aku mencintaimu, Nola. Sangat mencintaimu."
"Aku juga mencintaimu Tira."